Kisah Sukses Perawat Indonesia di Jepang
Kisah sukses Ardy Afrianzah di negeri orang bukan hal umum.Ia tiba di Jepang lima tahun lalu setelah lulus dari sekolah keperawatan di Indonesia. Di sela-sela pekerjaan penuh waktu, ia mengambil kursus bahasa Jepang. Seiring waktu bergulir, pemuda itu lulus dalam ujian kesejahteraan sosial nasional dengan soal yang ditulis dalam bahasa Jepang.
Kini, pekerja sosial berusia 26 tahun itu memiliki pendapatan sebanding dengan kolega asli Jepang di Panti Wreda Shinyokohama Parkside di Yokohama. Menurutnya, nominal yang diterima berkali lipat lebih besar dari yang bisa didapatkannya di Indonesia. Tahun ini, Ardy berencana memboyong istrinya ke negeri tersebut.
Konon, Jepang membutuhkan lebih banyak orang seperti Ardy, salah satu dari 17 warga Indonesia yang bekerja dengan 35 staf Jepang di Shinyokohama Parkside—lokasi yang menampung 100 orang lanjut usia. Saat ini, Jepang menawarkan program magang kepada para pekerja asing.
Jepang masih membutuhkan lebih dari 300.000 perawat bagi manula untuk 10 tahun mendatang. Jajak pendapat yang dilakukan secara nasional oleh Graduate School of Business, Nihon University, menyebutkan bahwa hanya sekitar 6% manajer panti wreda puas dengan kuantitas maupun kualitas para perawatnya.
“Jepang benar-benar membutuhkan para pekerja asing di sektor ini. Kami ingin menjadi pelopor dan melihat masalah yang muncul, jika memang ada,” ujar Yuko Makino, general manager Shinyokohama Parkside.
“Siswa dari Indonesia cenderung lebih perhatian pada orang tua ketimbang staf Jepang. Mereka tidak tergesa-gesa, hal yang penting dalam merawat manula,” ujarnya.
Masalahnya, mengundang lebih banyak pekerja asing seperti Ardy tidak murah atau mudah. Ardy serta para kolega asal tanah air di panti tersebut didatangkan melalui kesepakatan kerja sama ekonomi bilateral antara pemerintah Indonesia dan Jepang. Kesepakatan itu memungkinkan para sarjana jurusan kesehatan untuk mendapatkan pelatihan sebagai perawat manula. Jepang juga memiliki kesepakatan serupa dengan Filipina dan Vietnam.
Lewat program tersebut, Jepang dan negara-negara yang menjadi mitranya serta pemilik fasilitas panti membayar seluruh pengeluaran pekerja seperti tiket pesawat, pelatihan bahasa Jepang, serta persiapan ujian. Mereka yang ingin tetap berada di Jepang harus lulus ujian nasional dalam waktu empat tahun—tiga tahun di antaranya harus dihabiskan dengan menjalankan pelatihan. Jumlah pekerja yang lulus ujian cuma sepertiga lebih sedikit. Sekarang, hanya tersisa 203 perawat dari program tersebut yang bekerja di Jepang.
Nafila Diarana Fatonah, 24 tahun, adalah peserta pelatihan asal Indonesia di Shinyokohama Parkside. Menurutnya, butuh dedikasi besar untuk menyiapkan diri mengikuti ujian. “[Yang dipelajari] bukan bahasa Jepang biasa—kami harus belajar istilah-istilah, keterampilan, dan pengetahuan yang sangat spesifik,” ujarnya.
Pelatihan itu penting diikuti agar dapat menjadi perawat yang baik bagi para manula. “Pelatihan profesional dan keterampilan [sungguh] dibutuhkan. Orang yang kita rawat bukanlah ternak.”
Makino mengatakan teramat mahal untuk dapat mengembangkan program itu agar sanggup memenuhi permintaan tenaga perawat. Ia mengaku takkan mempekerjakan perawat asing yang belum menjalani pelatihan yang diinginkan.
Sumber: The Wall Street Journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar